Strories . . . . Dea . . . . just sharing . . . . . . . stories-dea.blogspot.com . . . . dea.crazy.a@gmail.com

Minggu, April 08, 2012

A Distance




Prolog

“Nona, setelah pulang sekolah Anda ada jadwal les ilmu sains. Setelah itu Anda harus melatih pelajaran piano Anda,” Andrea malah kelihatan seperti pidato saat Febiola atau Febi biasanya dia di panggil, sarapan. Dan Febi juga masih seperti biasanya juga, dia seperti acuh tak acuh mendengarkan pak Andrea membacakan jadwalnya, tapi pak Andrea tahu kalau majikannya itu memiliki pendengaran dan daya ingat yang sangat baik meskipun kelihatannya dia acuh tak acuh begitu. “Apa ada yang kurang berkenan nona?” tanya pak Andrea seperti dapat melihat gelagat aneh pada ekspresi datar Febi.
“Bisakah ke toko handphone sebelum pulang nanti?” tanya Febi sedatar raut wajahnya.
“Ada apa dengan handphone Anda nona? Bukankah itu keluaran seri terbaru minggu ini? Apakah Anda kurang suka?” tanya pak Andrea heran, tidak biasanya majikannya meminta membeli sesuatu. Majikannya kurang suka dengan kemewahan, meskipun semua yang melekat di tubuhnya adalah barang mewah kecuali seragam sekolahnya. Tidak ada seragam sekolah yang lebih mahal dan mewah dari seragam lainnya karena semua sama. Riasan wajahnyapun sangat minim hanya bedak bayi dan olesan lipsconditioner yang sangat tipis. Hanya untuk menghindari panasnya sengatan matahari, maklumlah Surabaya kota polusi. Model rambutnya juga sangat sederhana panjang lurus berwarna hitam dan agak bergelombang di ujungnya, itupun alami. Para pelayanlah yang memaksa memakaikan aksesori di kedua pergelangan tangan serta rambutnya, supaya tidak terlalu polos kata mereka. Dan dari pada berdebat, majikannya memilih diam saja. Dia memang tidak banyak bicara. Kurang memiliki emosi dan selalu tenang. Tidak pernah tampak marah, kecewa, senang, atau bahagia.
“Handphone yang kau berikan padaku kemarin jatuh di jalan dan di injak orang” ucapnya setenang wajahnya. Tidak sedikitpun tampak marah atau kecewa.
“Kalau begitu Anda bisa memakai handphone yang saya beli seminggu yang lalu” jawab pak Andrea dengan nada yang terdengar aneh.
“Diminta seorang di kelas”
“Anda berikan?”
“…”
“Anda jangan memberikan begitu saja pada teman Anda. Bisa jadi kebiasaan dan ini tidak baik”
“Kalau tidak bisa ya sudah” ucap Febi datar. Dan tetap tidak menampakkan emosi sedikitpun.
“M…baiklah. Kita akan mampir toko handphone nanti” ucap pak Andrea akhirnya. Dia tak begitu bisa mengerti jalan pikiran majikannya. Kadang mudah sekali dimengerti, kadang benar-benar tak bisa ditebak isi pikirannya. Bagaimana bisa dia memberikan handphonenya pada temannya. Dan ini tidak terjadi sekali tiga kali, ini benar-benar sangat sering terjadi. Bukan hanya handphonenya yang dia berikan, tapi laptop, uang, kartu kredit, aksesori yang dia pakai, semua yag terlihat oleh temannya yang diminta temannya akan diberikannya tanpa berkata apapun. Dan akhirnya dialah yang harus repot meminta kartu kredit dan beberapa laptopnya. Jangan-jangan saat temannya meminta dia memberikan rumah berserta isinya, dia akan berikan juga.
Itu gambaran kejadian di pagi hari.

“Febi, boleh aku meminta handphonemu? Aku benar-benar ingin tapi aku mana ada uang untuk membelinya” ucap salah seorang murid yang sekelas dengannya.
“Kenapa meminta padaku?” tanya Febi datar sedatar ekspresinya.
“Kan kau pasti minggu depan dapat seri terbaru. Jadi dari pada menganggur, lebih baik kau berikan padaku”
“Aku memerlukannya”
“Ayolah, kau tinggal bilang pada bodyguardmu untuk membelikan yang baru. Dan kau berikan yang itu padaku”
“Tidak” ucapnya tanpa emosi.
“Ayolah, tidak apa-apakan? Lagi pula kau juga pasti tidak punya hanya satu bukan? Kau pasti punya lebih banyak di rumahmu yang sebesar istana itu? Bayangkan saja, kau anak tunggal dari penguasa dunia, masakan hanya seperti ini kau tak bisa. Kau tinggal menelpon orang tuamu dan uang akan datang. Kau tidak keberatan kan kalau aku hanya meminta handphonemu? Iyakan Febi”
Febi langsung merogoh saku roknya dan menyodorkan handphone miliknya dan kemudian beranjak pergi. Dan masih tetap tanpa ekspresi. Entah punya perasaan atau tidak dia.
Kejadian seperti ini terjadi sejak dia duduk di kelas tiga SD. Dan terus berlanjut sampai sekarang. Dari pada dia mendengar ocehan yang tidak ada gunanya seperti itu dia lebih baik memberikan apa yang diminta anak itu dan pergi dari sana.
Hal itu tidak jarang menimbulkan keributan dan pertengkaran. Dan akhirnya, pak Andrealah yang harus mengurusi itu dan selalu kerepotan menghubungi majikannya.
Seperti itu hampir setiap hari terjadi saat dia sekolah. Pernah ada salah seorang yang menasehatinya, tapi tetap saja tidak berguna. Karena dari pada dia banyak bicara yang tidak perlu, dia lebih memilih jalan yang simple. Tapi bukan simple menurut umumnya orang.
“Jangan melakukan hal itu. Akan merugikanmu sendiri nantinya. Apa kamu juga akan memberikan rumahmu kalau temanmu memintanya?”
“Aku tidak suka banyak bicara. Pak guru mau bicara apa?” ekspresinya tetap datar. Bahkan dia tidak menyebut nama gurunya. Entah tidak mau atau entah tidak ingat.
“Pak Kevin hanya memikirkan kebaikan kamu Febiola. Pak Kevin tahu, kamu paham apa yang pak Kevin katakan”
Itulah pertama kali Febi sadar ada seorang guru yang bernama Kevin. Dan sorenya, pak Kevinlah yang memberinya les regular sampai Febi besar. Guru yang sebelumnya mengundurkan diri karena tidak betah mengajar Febi, begitu juga guru-guru sebelumnya. Mereka tidak betah dengan ekspresi wajah Febi yang selalu datar tanpa emosi.